tulisan ini disusun ulang dalam rangka jelang
Hari Bakti Tamansiswa - dan Hari Pendidikan Nasional
[ki eal]
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 atau pada hari kamis legi tanggal 2 Puasa 1818 pada Penanggalan Jawa, dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, lahir dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta , tepatnya adalah keturunan Sri Paku Alam III Kadipaten/Istana Paku Alaman merupakan salah satu dari empat kerajaan di Jawa Tengah, ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Harjo Soerjaningrat.
Sejak kecil, Soewardi kecil dididik dalam suasana religius dan dilatih untuk mendalami soal sastra dan kesenian. Keluarga Paku Alaman merupakan keluarga yang berpikiran terbuka. Soewardi disekolahkan di ELS (Europeesche Lagere School = Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda) kampong Bintaran Yogyakarta. Setelah tamat ELS pada tahun 1904 kemudian melanjutkan ke Sekolah Guru di Yogyakarta. Tetapi tak lama kemudian, pada tahun 1905 masuk/pindah ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen = Sekolah Pendidikan Dokter Hindia Belanda/Bumiputra/Jawa) di Jakarta pada dan memperoleh program beasiswa. Disebabkan karena sakit selama empat bulan yang menyebabkan tidak naik kelas, pada tahun 1910 beasiswanya dicabut. Karena tidak dapat membiayainya sekolah tersebut dengan terpaksa ditinggalkan.
Sejak meningkat dewasa seiring dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 (yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional) Soewardi aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu Soewardi menjadi anggota suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda yang bernama organisasi Insulinde.
Pada tahun 1913, Inlandsche Comite tot Herdenking van Nederlands Honderjarige Vrijheid (Komite Bumiputera untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda) berdiri. Dalam Komite Boemi Poetra, Soewardi menjabat sebagai sekretaris. Soewardi juga aktif sebagai penulis/jurnalis, diantaranya artikel berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (Satu untuk Semua) serta "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Aku Seorang Belanda)" yang diterbitkan oleh surat kabar De Expres pada tahun 13 Juli 1913 pimpinan Eduard Douwes Dekker (dikenal kemudian sebagai Setia Budi).
"Als ik een Nederlander, ik ga niet naar feestjes te organiseren in onafhankelijkheid van het land die we hebben aangegrepen hun eigen vrijheid. Parallel aan deze logica, is niet alleen oneerlijk, maar het ook niet verdienen te worden vertelde de Inlander het maken van een donatie aan het feest te financieren. Idee te viering menyelenggaraan op zich is het beledigen van hen, en nu hebben we ook hark in zijn zak. Laten we blijven gaan lichamelijk en geestelijk is het een belediging! Als ik een Nederlander, is het bijzonder mij en mijn vrienden landgenoten beledigd is het feit dat de Inlander een activiteit nodig is om het mee te financieren niet de minste belangstelling voor hem ".
(diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Belanda melalui translate.google.co.id)
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Akibat tulisannya Soewardi tersebut pada 30 Juli 1913 serangkaian penangkapan dan interogasi mulai dilakukan pemerintah kolonial membuat pemerintahan Belanda marah dan tersinggung sehingga menangkap Suwardi dan mengasingkan ke Pulau Bangka. Rekan seperjuangannya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Eduard Douwes Dekker memprotes penangkapan itu akhirnya juga ditangkap dan diasingkan. Selanjutnya, Soewardi Soeryaningrat ; Tjipto Mangoenkoesoemo dan Eduard Douwes Dekker dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan Perguruan Tamansiswa. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Bulan September 1919, Soewardi kembali dari pengasingan, kemudian bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. pada tanggal 3 Juli 1922 pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa di Mataram / Yogyakarta.
(lihat sumber gambar)
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti nama saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka dengan tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara (KHD) . Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Pada awal Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan kebudayaan. Dan pada tahun 1957 ia mendapat gelar Dr.H.C. (doctor honoris causa, doktor kehormatan ) dari Universitas Gajah Mada.
Ki Hajar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959 menjelang usianya 70 tahun. Almarhum dimakamkan di Taman Makam Wijaya Brata, Umbul Harjo, Yogyakarta. Selanjutnya hari wafatnya Ki Hajar Dewantara diperingati oleh kalangan Tamansiswa sebagai Hari Bakti Tamansiswa.
Atas peran dan jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).[ki eal]
sumber artikel :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Berkunjung dan Memberikan Komentar/Informasi/Masukan Kepada Kami